Minggu, 10 Mei 2015

Mampu Meraih Kebahagiaan Hidup

Mampu Meraih Kebahagiaan Hidup

Kalau dipikir-pikir, kebahagian itu termasuk salah satu istilah yang sulit didefinisikan, lebih-lebih ditemukan padanan fisiknya. Apa yang dipahami seseorang mengenai kebahagian kerapkali berbeda terkait dengan perbedaan keadaan diri, kebutuhan, atau perkembangannya. Nasib kebahagian itu mirip seperti kebenaran, yang selalu nisbi dan relatif. Jika kita berpikir kebahagian itu adanya pada isi kantong, mungkin itu benar. Tapi, ketika kantong sudah terisi, akankah itu menjamin kebahagian? Banyak orang yang harus membeli kesenangan, termasuk yang sangat merusak, karena merasa tidak bahagia dengan dirinya atau keadaannya. Ini petunjuk bahwa uang tidak selamanya identik dengan kebahagian.

Jika kita berpikir kebahagian itu adanya pada menemukan pacar yang sesuai kriteria, lalu kita ajak dia membangun keluarga, ya pikiran semacam itu mengandung kebenaran. Tapi, ketika semua itu sudah terlaksana, akankah itu menjamin kebahagian? Jawabannya relatif. Sudah banyak orang berpacaran bertahun-tahun, tapi pernikahannya hanya sebentar karena (salah satunya) tidak bahagia.


Sama juga dengan pekerjaan atau profesi. Menjelang diwisuda, mungkin kita berpikir kebahagian itu adanya di pekerjaan atau profesi. Tapi, begitu pekerjaan atau profesi itu kita temukan dan kita jalani, jawabannya menjadi nisbi dan relatif. Menurut beberapa hasil studi, lebih banyak pegawai yang ingin pindah karena kurang bahagia dengan pekerjaan yang ada.

Meski kantong isinya penuh, punya teman hidup, atau pekerjaan  bagus, ternyata itu saja tidak menjamin kebahagian, tetapi untuk bahagia, memang itu semua dibutuhkan. Kita sulit bahagia jika kebutuhan dasar sebagai manusia belum terpenuhi. Kita sulit bahagia apabila hidup kita hanya untuk diri kita, alias tidak ada orang yang kita ajak berbagi. Kita sulit bahagia ketika nganggur sebab kebahagian itu adanya pada dinamika.

Jika disederhanakan, untuk menjadi bahagia, kita membutuhkan faktor penentu dan faktor pendukung, yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Faktor penentunya adalah diri kita. Semudah kita memilih untuk bahagia, semudah itu juga kita bisa memilih untuk tidak bahagia. “Orang akan bahagia ketika dirinya memutuskan untuk menjadi bahagia”, kata  Abraham Lincoln. Cuma, karena kita ini bukan makhluk personal semata (tetapi juga sosial), maka kebahagian kita pun perlu dukungan dari lingkungan atau orang lain yang membahagiakan. Malah konon ada yang mengatakan bahwa selain penyakit dan bencana, yang paling mempengaruhi suasanan batin manusia adalah hubungannya dengan orang lain.

Oleh karena kita juga makhluk material, maka kebahagian pun butuh materi dan berbagai simbolnya, seperti sandang, pangan, dan papan. Bahkan, karena kita juga makhluk spiritual, maka kebahagian itu dibahasakan dengan kalimat yang bunyinya “diberi” atas dasar sebab, bukan dicapai. Tuhanlah yang memberi kebahagian atau ketenangan dalam jiwa manusia. Banyak doa-doa yang redaksinya seperti misalnya “Ya Tuhan, berilah kami kehidupan  yang bagus, berilah kami kebahagian, ketenangan, kemakmuran” dan lain-lain. Memanjatkan doa seperti itu bukanlah kekonyolan, mengharapkan mukjizat dari langit, tetapi lebih karena sikap hidup yang spiritual, dimana Tuhan pun berperan 100%, sama seperti peranan kita yang 100% juga.

Sikap Menerima dan Berbagi Kebahagiaan
Kebahagian adalah state of mind (jiwa) yang menjadi sebab sekaligus menjadi akibatnya, meski dibutuhkan faktor eksternal yang mendukungnya. Untuk menjadi orang yang bahagia, kita pertama kali harus menciptakan pikiran yang membahagiakan (positive mind), menemukan alasan untuk bersyukur sebanyak mungkin atau menciptakan makna-makan positif sebanyak mungkin. Jika kita berhasil mendatangkan faktor eksternal yang mendukung untuk merealisasikan alasan dan makna itu, maka state of mind kita juga akan bahagia (lahir-batin). Pertanyaannya, apa hal yang paling mendasar untuk bisa menciptakan pikiran yang membahagiakan itu? Untuk menjawab ini, rasa-rasanya sulit kita berpaling dari sikap menerima.

Sikap menerima sangat punya hubungan dengan tingkat kebahagian, baik secara kausatif atau korelatif. Ajaran agama mengharuskan sikap menerima terhadap takdir. Menerima takdir bukan menerima kenyataan (membiarkan atau mengabaikan), tapi menerima ketentuan Tuhan (menerima, memperbaiki, menjalani, mengubah, dst).

Kearifan lokal kita mensyaratkan nrimo, rela, lan legowo (menerima, merelakan, dan menyikapi secara positif) sebagai modal hidup sejati (urip sejati).  Seperti yang diajarkan melalui kisah Bima dalam pewayangan, kebahagian yang kita cari itu adanya bukan di seberang sana, di atas sana, tetapi di dasar samudera jiwa kita. Tanpa relo, nrimo, dan legowo, sulit kita temukan dasar samudera itu. Kata seorang penulis buku-buku pengembangan diri, Mandy Evans, sikap menerima itu memiliki rahasia. Katanya, “Ketika Anda mulai bisa menerima diri seperti apa adanya sekarang ini, maka Anda mulai bisa membangun kehidupan baru dengan kemungkinan baru yang belum pernah ada sebelumnya.”

Ada yang menarik dari hasil kajian Pak Hanna Djumhana, seperti ditulis dalam bukunya Meraih Makna Hidup (Paramadina: 1996), terhadap orang-orang yang pernah mengalami tragedi hidup yang dahsyat, lalu berhasil menciptakan kehidupan baru yang lebih bermakna dan bahagia. Mereka yang dikaji ini kebetulan dari daerah yang berbeda dengan masalah yang berbeda. Meski proses mereka dalam meraih kehidupan yang bermakna itu berbeda-beda, tetapi ada yang bisa disebut sebagai variable yang konstan atau proses yang sama-sama dilalui mereka. Bisa disebut sebagai proses yang wajib dijalani. Proses itu adalah penerimaan-diri. Sama seperti Evans di atas, menerima menjadi awal untuk menemukan dan memenuhi makna lalu meraih makna.

Menerima juga kerap menjadi prosedur ilmiah dalam penanganan korban bencana agar kembali menemukan gairah hidup yang lebih baik. Kalau orang terus menolak apa yang sudah tidak bisa ditolak, seperti kegagalan yang sudah terjadi atau kehilangan yang sudah tidak bisa ditemukan, ini malah akan memburuk dirinya. Memang pasti tidak mudah.

Skala Menerima
Walaupun sikap menerima itu merupakan proses yang wajib dilalui untuk meraih kebahagian, tapi perlu kita sadari bahwa kualitas kebahagian kita tergantung juga pada kualitas penerimaan kita. Dilihat dari prakteknya, sikap menerima mungkin bisa disebut sebagai kompetensi penting dalam hidup.  Untuk sekedar bahan refleksi, skala penerimaan itu bisa kita lihat seperti dalam BOX  bawah ini:
Skala Indikasi
1 Menerima dengan menolak. Lahir kita menerima, tetapi batin kita protes, menerima dengan terpaksa atau karena takut
2 Menerima dengan pasrah-kalah, membiarkan kenyataan, mengandalkan Tuhan, keadaan, atau orang lain
3 Menerima secara reaktif, menerima untuk tujuan menerima begitu saja, mengimani hikmah di balik musibah dengan hanya mempercayai, menciptakan makna tapi belum ada usaha memenuhinya
4 Menerima secara responsif, menerima untuk tujuan perbaikan, memenuhi makna, atau menjalankan agenda perbaikan
5 Menerima secara antisipatif, menerima untuk melakukan yang lebih baik dan menghindari apa yang berpotensi mendatangkan keburukan, bertakwa, menerima takdir Tuhan.

Pen-skala-an di atas tidak usah kita pahami sebagai pakem yang baku. Anggaplah itu hanya sekedar apa yang saat ini baru mampu kita bahasakan dari praktek hidup sehari-hari. Intinya adalah, kualitas kita menerima akan memiliki hubungan yang kausatif atau juga korelatif dengan kualitas kebahagian. Misalnya saja kita terkena musibah lalu kita meyakininya pasti ada hikmah  nantinya. Dibanding dengan kita menolaknya dengan menyalahkan Tuhan, mengutuk keadaan, atau memaki-maki orang, tentu meyakini ada hikmah itu jauh lebih mendukung untuk kebahagian. Minimalnya jiwa kita dingin.

Tapi, kalau modal kita hanya sebatas meyakini akan adanya hikmah nantinya, tentu hasilnya tidak akan lebih bagus (menurut akal sehat manusia) dengan kalau kita misalnya menjalankan penerimaan secara antisipatif, melalui proses mengevaluasi, menjalankan apa yang harus, menghindari apa yang harus, dan seterusnya. Kebahagian yang dihasilkan dari menerima dengan menolak, lebih rendah dibanding dengan yang dihasilkan dari menerima dengan pasrah apa adanya. Kebahagian dari pasrah, lebih rendah dibanding dengan kebahagian yang dari kereaktifan. Kebahagian dari reaktif, lebih rendah dibanding dengan kebahagian dari responsif. Dan seterusnya dan seterusnya. baca juga Berbagi Bahagia Bersama Tabloidnova.com

Berbagai Keyakinan yang Kurang Membahagiakan
Masih terkait dengan sikap menerima itu, ada tulisan David Burns (1980), Professor Standford University, yang menyinggung hal-hal kecil yang mestinya harus kita terima, tetapi prakteknya tidak bisa kita terima. Dan itu sedikit-banyaknya akan mempengaruhi kualitas kebahagian hidup, jika itu sudah menjadi karakter atau kebiasaan.

David Burns mencatat ada 9 keyakinan umum, yang kalau dipedomani secara fanatik, dapat menggagalkan orang untuk menjadi bahagia (self-defeating core belief). Mari kita lihat satu persatu di bawah ini:
  1. Emotional perfectionism, misalnya kita berkeyakinan bahwa saya harus bahagia terus, harus sempurna terus, harus dalam keadaan emosi yang seimbang terus.
  2. Performance perfectionism, misalnya kita berkeyakinan saya harus tidak pernah gagal, harus tampil tanpa cacat sedikit pun, harus menghasilkan sesuatu yang sempurna
  3. Perceived perfectionism, misalnya kita berkeyakinan tidak akan ada orang yang akan menerima atau mencintai kita kalau kita tidak sempurna atau punya kekurangan
  4. Fear of disapproval or criticism, misalnya kita berkeyakinan bahwa yang kita butuhkan untuk bahagia adalah dukungan dan pujian orang lain, full.
  5. Fear of rejection, misalnya kita berkeyakinan hidup kita akan hancur jika si dia menolak cinta kita atau berpisah dengan si dia
  6. Fear of being alone, misalnya kita berkeyakinan bahwa tanpa kehadirannya, hidup kita tak punya arti apa-apa.
  7. Fear of failure, misalnya kita berkeyakinan bahwa hanya ketika kita tidak pernah gagal itulah yang membuat hidup kita akan bahagia dan sempurna
  8. Conflict phobia, misalnya kita berkeyakinan bahwa orang yang hidupnya baik dan sempurna itu adalah yang tidak pernah berkonflik
  9. Emotion phobia, misalnya kita berkeyakinan bahwa saya harus tidak  boleh marah, cemburu, sedih, kecewa, dan seterusnya untuk bisa menjadi bahagia.
 sumber : http://www.psychoshare.com/file-628/psikologi-kepribadian/meraih-kebahagiaan-hidup.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar